Yang
namanya penulis, pasti erat hubungannya dengan editor. Entah editor kelas
profesional (baca: yang dapat bayaran setiap kali mengedit) atau editor
abal-abal (baca: cuma dapat ucapan terima kasih doank). Nah, kali ini saya lagi
mood untuk membuat catatan tentang pengalaman sebagai editor. Weittss....
gini-gini karir editor saya cukup panjang lho, meski cuma sebagai editor
cabutan nan abal-abal.
Saat
sedang jadi editor, ada rule-rule yg selalu saya patuhi. Karena kalau
seenaknya, yg ada penulis jadi jengkel dan akhirnya saya ga dipercaya lagi. Ya
walaupun saya juga ga rugi-rugi amat sih kalau penulisnya kabur. Secara saya
cuma dapet ucapan terima kasih.
So, apa
aja sih rule-rule yg selalu berusaha saya patuhi? Pertama, siapapun penulisnya,
bagaimanapun hasil tulisannya, saat pertama kali dia memberikan naskahnya ke
saya, maka saya TIDAK AKAN PERNAH MENCELANYA. Kenapa? Gini, sebagian besar
orang itu menulis hanya untuk iseng. Sekedar ikut-ikutan karena kebetulan temen-temennya
yg lain juga pada lagi gandrung menulis. Jadi meski tulisannya menurut saya
sebenarnya ancur banget, saya tidak akan menghina. Toh, besar kemungkinan
setelah eforia menulisnya habis, dia juga tidak akan melanjutkan karir
menulisnya. Nah, jadi untuk apa saya mencelanya. Yang ada saya cuma akan
melukai hatinya padahal dia juga tidak akan menjadi seorang penulis.
Tapi kadang
kala di antara orang-orang itu akan ada satu dua yg ternyata memang serius
pengen jadi penulis. Hasil karya orang-orang yg seperti inilah yg akan saya
edit dengan lebih serius karena mereka memang membutuhkan suatu editan. Sebelum mengedit, satu hal yg selalu saya
tanamkan dalam diri saya yaitu sang Penulis adalah bintangnya, she/he is the
star. Bukan saya. Saya cuma editor. Dan sebagai editor saya ga boleh ‘keminter’.
Peduli amat saya sebenarnya juga seorang penulis dan kebetulan naskah yg mau
saya edit adalah hasil karya seseorang yg belum pernah menghasilkan buku
apapun. Dari kaca mata normal, mestinya saya bisa dibilang lebih berpengalaman
daripada si penulis baru itu. Tapi apakah itu berarti saya boleh takabur dan
sok tau? Itu haram hukumnya. Ingat, she/he is the star. Not me. Dengan begitu
saya akan selalu menghargai hasil tulisan seseorang. Jangan pernah mengedit
dengan niat untuk mencari cacat. Itu namanya editor yg jahat. Tulisan sebagus
apapun pasti akan ada cacatnya bila memang dicari-cari.
Bila
suatu tulisan memang bagus, saya akan bilang bagus. Untuk selanjutnya saya
tinggal memberitahu bagian mana saja yg menurut saya harus diperbaiki plus
editan tanda baca dan hal-hal kecil lainnya. Memang paling enak mengedit
tulisan yg secara keseluruhan sudah bagus. Saya dapet bacaan gratis, ngeditnya
pun gampang.
Tapi gimana kalau tulisan itu
sebenarnya sama sekali tidak menarik? Gimana harus ngomong ke si penulis yg
sudah menunggu komentar kita dengan harap-harap cemas? Aduh, ini yg harus ekstra hati-hati. Yg jelas
saya akan mengawali komentar saya dengan pujian. Kalau tidak ada yg bisa dipuji
dari tulisan itu gimana? Oh ayolah, selalu ada sisi positif dari segal hal.
Gali lebih dalam lagi hingga kau menemukannya. Misalnya tulisan itu sudah gaya
bahasanya berantakan, pilihan katanya alay, ide ceritanya.... errrr entahlah
sebenarnya dia itu nulis tentang apa. Tapi paling enggak kita bisa mengatakan “wah kok kamu bisa sih kepikiran cerita ttg
monster yg suka makan ubi?”. Pasti si penulis alay itu akan dengan
berbunga-bunga menceritakan asal muasal ide ceritanya yg menurut dia super
brilian. Please deh, monster kok makan ubi. But, tutuplah mulutmu dan dengarkan
saja ceritanya. Setelah dia selesai cerita, baru kita mulai komentar lagi “Kenapa harus makan ubi? Kayanya kalau dia
makan buah ajaib lebih lucu. Apalagi kamu bisa karang sendiri bentuk buahnya.
Asyik kan”. Begitu dia setuju, lanjut lagi. “Oh, kalau ditambah tokoh manusia, mungkin oke juga. Jadi si monster
ternyata berteman dengan manusia. Atau mungkin ditambah dengan sedikit misteri
gimana?”. Eh ternyata dia setuju. Lanjuuuttt..... “Ehm, kalau dilihat-lihat, monster sama manusia agak kurang pas ya”.
Dan bila kita beruntung, akhirnya si monster pemakan ubi itu akan hilang
selamanya. Tapi kalau ternyata si penulis adalah tipikal yg keras kepala dan
mati-matian mempertahankan si monster ubinya, ya sudahlah terima saja. Ada
beberapa tulisan yg memang sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Lambat laun dia
juga akan paham kalau bakat menulis sama sekali tidak mengalir dalam dirinya.
Yaaawww...... Jadi editor itu
memang tidak gampang. Kalau disuruh milih antara jadi editor atau penulis,
ehmmm..... untuk saat ini sih saya lebih memilih jadi penulis karena saya sudah
tidak punya waktu lagi untuk mengedit naskah lain. Bagaimanapun, be a star
memang lebih menyenangkan. Tapi tidak ada salahnya sesekali membantu orang lain
agar bisa menjadi a star juga. Walau nama kita mungkin tidak dikenal, tapi saat
dia terkenal kita tahu bahwa kita ikut andil di dalamnya. Dan itu sangatlah
menyenangkan ;)